Sejarah Panjang Suriah: dari Peradaban Kuno hingga Era Modern

Senin, 9 Desember 2024 16:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Peta Suriah pada tahun 1803
Iklan

Sejarah Suriah mencakup peradaban kuno, pengaruh budaya, dan konflik modern. Dari Zaman Prasejarah hingga Perang Saudara Suriah, negara ini memainkan peran penting dalam sejarah dunia, dengan berbagai penaklukan, kebangkitan peradaban, dan perjuangan untuk kemerdekaan.

Sejarah Suriah adalah sebuah kisah yang kaya dan kompleks, terjalin dari peradaban kuno, pertukaran budaya, dan konflik modern. Lokasi strategis Suriah menjadikannya persimpangan berbagai kekaisaran dan budaya selama ribuan tahun.

Zaman Prasejarah: Awal Kehidupan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemukiman manusia di Suriah sudah ada sejak Zaman Batu, menjadikannya salah satu tempat tertua yang dihuni manusia. Salah satu situs arkeologi terkenal, Tell Abu Hureyra, menunjukkan bukti peralihan manusia dari gaya hidup berburu dan meramu menuju kehidupan bertani.
Suriah juga menjadi salah satu wilayah pertama yang mengembangkan pertanian dan domestikasi hewan, menjadikannya pionir dalam revolusi Neolitik yang mengubah cara hidup manusia.

Zaman Perunggu (3000–1200 SM): Kebangkitan Kota-Kota Awal

  1. Kemunculan Ebla
    Pada milenium ke-3 SM, kota Ebla muncul sebagai pusat perdagangan dan budaya di Suriah. Ebla terkenal dengan arsip tablet tanah liatnya, yang mencatat salah satu sistem tulisan kuno tertua. Kota ini menjalin hubungan dagang dengan Mesopotamia, Levant, dan Mesir, menjadikannya salah satu pusat ekonomi di dunia kuno.
  2. Pengaruh Mesopotamia
    Kerajaan Akkadia di bawah Sargon Agung menaklukkan Ebla sekitar 2300 SM. Penaklukan ini membawa pengaruh budaya Mesopotamia yang kuat ke wilayah Suriah, menciptakan asimilasi budaya yang memperkaya peradaban lokal.
  3. Kota Ugarit dan Alfabet Kuno
    Pada milenium ke-2 SM, kota Ugarit, yang terletak di pesisir Suriah, berkembang sebagai pusat perdagangan dan budaya. Ugarit terkenal dengan sistem alfabetnya, yang menjadi cikal bakal alfabet modern.

Zaman Besi (1200–539 SM): Dominasi dan Kekuasaan

  1. Bangkitnya Kerajaan Aram
    Setelah runtuhnya peradaban Zaman Perunggu, suku Aram mendirikan kerajaan-kerajaan kecil seperti Damaskus, yang menjadi salah satu kekuatan utama di kawasan ini. Bahasa Aram yang mereka gunakan menjadi lingua franca di Timur Dekat selama berabad-abad.
  2. Kekuasaan Asyur dan Babilonia
    Kekaisaran Asyur menaklukkan kerajaan-kerajaan Aram mulai abad ke-9 SM. Setelah keruntuhan Asyur, Suriah jatuh ke tangan Babilonia Baru, yang dipimpin oleh Nebukadnezar II.

Kekaisaran Persia (539–333 SM): Era Administrasi Efisien

Setelah penaklukan oleh Cyrus Agung pada 539 SM, Suriah menjadi bagian dari Kekaisaran Achaemenid Persia. Wilayah ini diatur sebagai salah satu satrapi (provinsi) Persia dengan sistem administrasi yang sangat efisien. Pada masa ini, Suriah berperan penting sebagai jalur perdagangan dan komunikasi di dalam kekaisaran yang luas.

Zaman Helenistik (333–64 SM): Pengaruh Yunani

  1. Penaklukan Alexander Agung
    Pada 333 SM, Suriah ditaklukkan oleh Alexander Agung, yang membawa budaya Yunani ke wilayah ini. Setelah kematiannya, Suriah menjadi bagian dari Kekaisaran Seleukus.
  2. Kota Antiokhia
    Seleukus I Nicator, salah satu jenderal Alexander, mendirikan kota Antiokhia, yang menjadi salah satu kota terbesar di dunia Helenistik. Kota ini berfungsi sebagai pusat kebudayaan, perdagangan, dan politik.

Zaman Romawi dan Bizantium (64 SM–636 M): Puncak Kejayaan dan Perubahan

  1. Provinsi Romawi
    Pada 64 SM, Suriah menjadi provinsi Kekaisaran Romawi di bawah Pompey Agung. Selama periode ini, kota Palmyra tumbuh sebagai pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Kekaisaran Romawi dengan India dan Tiongkok melalui Jalur Sutra.
  2. Kekristenan Awal
    Pada era Bizantium, Kekristenan menyebar luas di Suriah. Kota-kota seperti Damaskus dan Antiokhia menjadi pusat agama dan kebudayaan Kristen. Antiokhia bahkan dikenal sebagai salah satu kota suci Kekristenan awal.

Masa Penalukkan Islam

Pada tahun 634 M, Khalifah Abu Bakar memulai ekspansi Islam ke luar Jazirah Arab. Dipimpin oleh jenderal-jenderal hebat seperti Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, pasukan Muslim dengan cepat meraih kemenangan besar di medan perang. Beberapa pertempuran penting seperti Ajnadayn (634 M) dan Yarmuk (636 M) menjadi momen penentu dalam penaklukan Suriah.

Pada tahun 635 M, pasukan Muslim menaklukkan Damaskus, salah satu kota tertua di dunia yang telah dihuni terus-menerus. Penaklukan ini menjadi simbol keberhasilan besar bagi kaum Muslim. Setelah jatuhnya Damaskus, kota ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi juga jantung peradaban Islam.

Damaskus kemudian mencapai puncak kejayaannya di bawah Kekhalifahan Umayyah (661–750 M). Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri Kekhalifahan Umayyah, menjadikan Damaskus sebagai ibu kota. Kota ini berkembang pesat, menjadi pusat perdagangan, seni, dan politik di dunia Islam. Salah satu warisan paling ikonik dari era ini adalah Masjid Agung Umayyah, salah satu masjid tertua dan termegah yang masih berdiri hingga hari ini.

Penaklukan Islam juga membawa perubahan besar bagi masyarakat Suriah. Meski sebagian besar penduduk awalnya adalah Kristen dan Yahudi, mereka diberi status ahl al-dhimmi, yang berarti mereka dilindungi oleh pemerintahan Muslim asalkan membayar pajak khusus (jizyah). Sebagian besar penduduk secara bertahap memeluk Islam, baik karena keyakinan maupun integrasi sosial.

Bahasa Arab juga mulai menggantikan bahasa Yunani dan Aram yang sebelumnya dominan, menjadikan Suriah bagian penting dari dunia Islam yang lebih besar. Kota-kota seperti Damaskus dan Aleppo berkembang menjadi pusat urban dengan masjid-masjid megah, pasar yang ramai, dan pusat pembelajaran.

Dominasi Kekaisaran Ottoman

Pada tahun 1516, Sultan Selim I, pemimpin Kekaisaran Ottoman, mengalahkan Dinasti Mamluk dalam Pertempuran Marj Dabiq di dekat Aleppo. Kemenangan ini membuka jalan bagi penaklukan Suriah, menjadikannya bagian dari Kekaisaran Ottoman. Setelah itu, Suriah, termasuk kota-kota besar seperti Damaskus, Aleppo, dan Homs, diintegrasikan ke dalam sistem administratif Ottoman.

Damaskus, sebagai salah satu kota tertua di dunia, memiliki posisi strategis dan religius. Kota ini segera menjadi titik transit utama bagi jamaah haji menuju Makkah, memperkuat statusnya sebagai kota penting dalam dunia Islam.

Suriah diatur sebagai bagian dari sistem provinsi (wilayah administratif) Kekaisaran Ottoman. Wilayah ini mencakup Damaskus, Aleppo, dan Palestina, yang masing-masing dipimpin oleh gubernur Ottoman.

Ottoman juga membangun jalan, jembatan, dan caravanserai (penginapan untuk pedagang) untuk mendukung perdagangan dan perjalanan, terutama bagi jamaah haji. Damaskus menjadi pusat pengelolaan perjalanan haji ke Makkah, menjadikannya salah satu kota paling penting di kekaisaran.

Kekalahan pada Perang Dunia I membuat Ottoman kehilangan wilayah Suriah. Wilayah Suriah diduduki oleh pasukan Sekutu dan akhirnya jatuh di bawah kendali Prancis melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1920.

Mandat Prancis

Masa ini penuh dengan tantangan, konflik, dan perjuangan panjang rakyat Suriah untuk merebut kembali kemerdekaan mereka. Di balik tekanan kolonial, tumbuh semangat nasionalisme yang menjadi fondasi berdirinya Suriah modern.

Perlawanan terbesar terjadi dalam Pemberontakan Besar Suriah, yang dimulai di wilayah Druze di bawah kepemimpinan Sultan al-Atrash. Pemberontakan ini meluas ke seluruh negeri, termasuk Damaskus dan Homs. Meskipun akhirnya dipadamkan oleh Prancis, pemberontakan ini memperkuat semangat nasionalisme Suriah.

Sedangkan melalui politik, Partai-partai politik seperti Blok Nasional (al-Kutla al-Wataniyya) memainkan peran penting dalam mengorganisasi perlawanan damai. Mereka memperjuangkan kemerdekaan melalui diplomasi dan negosiasi dengan Prancis.

 

Setelah tekanan internasional dan perlawanan terus-menerus dari rakyat Suriah, Prancis akhirnya menyetujui kemerdekaan Suriah melalui perjanjian pada tahun 1936. Namun, implementasi kemerdekaan tertunda karena Perang Dunia II.

Setelah perang, Liga Bangsa-Bangsa dan tekanan internasional mendorong Prancis untuk meninggalkan Suriah. Pada tahun 1946, pasukan Prancis terakhir meninggalkan Suriah, menandai lahirnya Suriah sebagai negara merdeka.

Pasca Kemerdekaan

Pada 17 April 1946, pasukan Prancis terakhir meninggalkan Suriah, menandai lahirnya sebuah negara baru. Hari ini dikenal sebagai Hari Evakuasi, yang dirayakan sebagai hari kemerdekaan nasional Suriah. Setelah meraih kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1946, Suriah memasuki babak baru sebagai negara yang merdeka. Namun, perjalanan menuju stabilitas politik, sosial, dan ekonomi penuh dengan tantangan.

Dalam mengelola pemerintahan Suriah mengadopsi sistem parlementer dengan presiden sebagai kepala negara. Namun, perbedaan pandangan antara faksi politik, serta persaingan antar kelompok etnis dan agama, memicu ketegangan internal. Pada tahun 1949, Suriah mengalami kudeta militer pertamanya, yang dipimpin oleh Jenderal Husni al-Za’im. Ini menjadi awal dari serangkaian kudeta militer yang mengganggu stabilitas politik selama dekade berikutnya.

Persatuan dengan Mesir: Republik Arab Bersatu (1958–1961)

Salah satu langkah besar Suriah di panggung internasional adalah bergabung dengan Mesir dalam pembentukan Republik Arab Bersatu (RAU) pada tahun 1958. Aliansi ini dipimpin oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser sebagai upaya menyatukan dunia Arab melawan pengaruh kolonial dan Israel.

Namun, persatuan ini tidak bertahan lama. Ketidakpuasan di kalangan elit politik dan militer Suriah terhadap dominasi Mesir memicu kudeta pada tahun 1961, yang mengakhiri RAU dan mengembalikan Suriah sebagai negara merdeka.

Era Ba'ath: Dari Reformasi ke Otoritarianisme

Pada 1963, Partai Ba'ath, yang berideologi sosialisme Arab dan nasionalisme, mengambil alih kekuasaan melalui kudeta militer. Partai ini membawa visi modernisasi, reformasi tanah, dan industrialisasi, tetapi juga memperkuat kontrol otoritarian.

Hafez al-Assad, seorang perwira militer dan anggota Partai Ba'ath, merebut kekuasaan melalui Koreksi Gerakan (Corrective Movement) pada 1970. Sebagai presiden, Assad memerintah Suriah selama hampir tiga dekade (1971–2000), membawa stabilitas politik tetapi dengan tangan besi.

  • Kebijakan dalam Negeri: Assad membangun sistem pemerintahan otoritarian yang terpusat, dengan Partai Ba'ath sebagai pengendali utama politik dan militer. Keamanan negara diperkuat melalui intelijen yang ketat.
  • Hubungan Internasional: Di bawah Assad, Suriah menjadi pemain kunci dalam politik Timur Tengah, termasuk konflik Arab-Israel dan pengaruh di Lebanon.

Namun, pemerintahan Assad juga memiliki sejumlah tantangan yang akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Mulai dari korupsi dan birokrasi yang sangat menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara ini hingga ketegangan antar kelompok (Sunni, Alawi, Druze, Kristen, dan Kurdi) sering kali memunculkan konflik, terutama dalam konteks politik. Pemerintah sebenarnya sudah menupayakan persatuan nasional namun tidak berhasil.

Setelah kematian Hafez al-Assad pada tahun 2000, putranya, Bashar al-Assad, naik ke tampuk kekuasaan. Awalnya dipandang sebagai reformis muda, Bashar menjanjikan modernisasi dan keterbukaan. Namun, harapan ini segera memudar ketika pemerintahannya memperkuat kontrol otoritarian.

  • Kebijakan Ekonomi: Bashar mencoba mengadopsi reformasi ekonomi yang lebih terbuka, tetapi kesenjangan sosial tetap tinggi.
  • Krisis Politik: Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Bashar meningkat, yang menjadi pemicu utama konflik berikutnya

Perang Saudara Suriah (2011–Sekarang)
Pada tahun 2011, gelombang Arab Spring mencapai Suriah. Demonstrasi damai menuntut reformasi politik dan kebebasan berujung pada penindasan brutal oleh pemerintah, yang memicu perang saudara berkepanjangan.

Perang saudara melibatkan berbagai kelompok, termasuk oposisi, pemerintah, milisi Kurdi, dan kelompok ekstremis seperti ISIS. Negara-negara asing, termasuk Rusia, Iran, AS, dan Turki, turut campur, menjadikan konflik ini sebagai perang proxy dengan dampak global.

Konflik ini menyebabkan salah satu krisis kemanusiaan terbesar di abad ke-21, dengan jutaan orang terlantar dan ribuan tewas. Suriah menghadapi kehancuran infrastruktur dan ekonomi yang parah.

Perkembangan Terbaru, Pasukan pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil menggulingkan pemerintahan Assad dengan berhasil menduduki kota-kota penting di Suriah seperti Idlib, Aleppo, dan Damaskus dalam waktu kurang dari 2 minggu. Imbas ini Presiden Assad dilaporkan meninggalkan Suriah dan mencari suaka ke Rusia.

Kondisi ini diharapkan bisa membawa harapan baru perdamaian bagi Suriah meski disamping HTS masih ada kelomok pemberontak lain yang memiliki sokongan dari negara lain yang belum terlihat akan bersatu dengan HTS untuk mendirikan pemerintahan baru.  

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler